ACEH KEMBALI MENULIS
Oleh: Baun Thoib Soaloon SGR
Geliat menulis tampak semakin bersemi di Aceh. Ini salah satu pertanda baik setelah daerah ini mengalami kemunduran akademik dan intelektual sebagai salah satu dampak dari konflik politik yang berkepanjangan serta tsunami. Konflik politik telah menyedot begitu banyak sumber daya Aceh sehingga pendidikan mandeg, merenggut nyawa banyak kader intelektual, membelenggu kebebasan berpikir dan menyuarakan pendapat, serta mengunci optimisme dan semangat berpikir positif karena selalu dihantui rasa takut. Tsunami meluluh lantakkan infrastruktur fisik pendidikan, menelan korban tokoh-tokoh pemikir dan para pendidik, dan menimbulkan dampak negatif yang luar biasa terhadap keberlangsungan kehidupan ilmiah.
Belum genap empat tahun, mungkin sudah ratusan buku karya para penulis Aceh terbit, baik dari kalangan institusi pendidikan, ulama, pers, seniman, pekerja kemanusiaan, maupun masyarakat umum. Buku “Aceh dan Romantisme Politik” (ADRP) ini ditulis oleh Mukhlisuddin Ilyas, seorang penulis muda yang sehari-hari bekerja pada sebuah LSM dan sedang menyelesaikan studi pascasarjananya di program magister manajemen pendidikan Unsyiah. Buku setebal 121 + xxiii halaman ini diterbitkan oleh sebuah penerbit baru, Bandar Publishing Banda Aceh dan isinya merupakan sortiran dari esai-esai penulis tentang beragam topik di beberapa media massa lokal dalam kurun waktu yang cukup lama (sepuluh) tahun, sejak 1997—2007. Esai-esai terpilih dikelompokkan berdasarkan kategorinya ke dalam tiga bab buku ini. Bab I Aceh dalam perspektif politik; Bab II Aceh dalam perspektif pendidikan; dan Bab III Aceh dalam perspektif sosial budaya dan keagamaan.
Sepengetahuan penulis, di Aceh, penerbitan buku kompilasi tulisan yang pernah dimuat di media massa masih amat sedikit. Pada tahun 2003 Dewan Kesenian Banda Aceh menerbitkan buku “Celoteh Budaya Politik Aceh” (CBPA) yang berisi kumpulan tulisan mantan bupati Bireun Mustafa A. Glanggang pada rubrik “Tingkap” di Harian Serambi Indonesia. Baik CBPA maupun ADRP sama-sama menjadikan Aceh sebagai konteks sekaligus objek pengamatan. Namun demikian, keduanya menggunakan dua model penyampaian yang berbeda. CBPA mengandalkan ragam gaya bahasa simbolisme, eufimisme, dan personifikasi yang seringkali dibalut cerita fiktif dalam menggambarkan fenomena sosial budaya dan politik pada masanya, sedangkan ADRP mengutamakan penggunaan gaya bahasa yang lugas, objektif, dan ilmiah. Perbedaan ini secara historis tidaklah aneh karena keduanya lahir dalam konteks politik yang berlainan.
Tidak seperti CBPA yang hanya mengumpulkan kembali tulisan-tulisan penulis menjadi berbentuk bunga rampai, penulis buku yang dieditori Mohammad Solikhin ini sepertinya berupaya mengetengahkan potret Aceh dalam tiga perspektif di atas. Limitasi ini barangkali tidak dimaksudkan untuk mempersempit ruang pandang pembaca terhadap dinamika objek yang diamatinya (Aceh), tetapi mungkin lebih berkaitan dengan kapasitas dan minat penulis atau mungkin juga dilatarbelakangi trend isu yang mencuat di Aceh selama periode penulisan esai-esainya. Menulis tentang Aceh secara komprehensif tentu sangat mustahil bagi siapapun. Dengan demikian, menilik latar belakang penulis dan isi esai-esai yang dimuat dalam buku ini, faktor personal dan trend isu tampaknya lebih beralasan. Bagaimana dengan tulisan-tulisannya tentang isu-isu politik? Ya, itu mungkin bagian dari minat dan hak kebebasan intelektualnya untuk menyuguhkan sesuatu tentang masyarakat dan daerahnya kepada khalayak. Lagi pula, akhir-akhir ini pembahasan politik sudah menjadi konsumsi umum. Siapapun boleh mengomentari dan banyak hal sering dikait-kaitkan dengan politik.
Esai-esai pada tiga bagian (bab) buku ini jumlahnya relatif berimbang: Bab I, tujuh esai, Bab II sembilan esai, dan Bab III delapan esai. Hal ini mungkin bertujuan agar Aceh tidak dilihat secara sempit memakai satu perspektif dominan, tetapi harus dilihat dari berbagai sudut pandang secara proporsional. Kumpulan tulisan dalam buku ini cukup bervariasi. Secara kontekstual, topik-topik pilihan umumnya masih menjadi isu-isu kontemporer di Aceh yang tetap hangat dibicarakan. Isu politik tentang Partai GAM, kepeminpinan Irwandi-Nazar, perjanjian damai Helsinki dan masa depan perdamaian di Aceh misalnya sampai hari ini tidak pernah lenyap dari perbincangan banyak kalangan. Demikian pula isu pendidikan tentang problematika guru, sistem kurikulum dan pola pengelolaan pendidikan, dan dinamika kehidupan kampus di dua perguruan tinggi terbesar di Aceh senantiasa menjadi sorotan. Di sisi lain, isu mengenai kehidupan sosial budaya seperti diskusi tentang adat dan budaya, kondisi dan masa depan anak-anak korban konflik dan tsunami, serta pengembangan dan pemberdayaan dayah di Aceh juga tidak pernah lengang dari perhatian pemerintah dan masyarakat luas.
Salah satu daya tarik buku ini adalah model pembahasannya yang mengacu pada masalah-masalah ril dan berlangsung secara nyata di tengah masyarakat. Jadi, ini bukan buku teks tentang politik, pendidikan, sosial budaya dan keagamaan Aceh yang dipenuhi teori dengan sistematika yang kaku. Opini dan persepsi penulis terhadap berbagai realita praktis di tengah masyarakat membuat buku ini terasa hidup dan mampu membangun imaji konkrit pembaca tentang seluk-beluk keacehan dengan segala problematikanya. Sisi positif lain, gaya bahasa yang digunakan penulis tergolong sangat lugas, terkadang tajam monohok, dan sesekali meledak-ledak dengan temperatur emosi yang cukup tinggi. Indikasi demikian setidaknya menyiratkan kejujuran, keseriusan, kedekatan dengan objek yang ditulis, dan semangat untuk mengungkapkan kebenaran secara apa adanya.
Sebagai karya pertama bagi penulis dan penerbit, wajar apabila buku ini masih memiliki banyak kekurangan. Tulisan tentang sejarah mengandung kontradiksi karena di satu sisi pembaca dengan mudah menilai bahwa penulis adalah pengagum sejarah (Aceh), tetapi di sisi lain ia mengherankan orang yang mengagungkan sejarah. Kontradiksi ini dapat memicu anggapan bahwa penulis kurang konsisten. Pemilihan judul buku ini (Aceh dan Romantisme Politik) terkesan terburu-buru dan dipaksakan. Penggunaan kata “romantisme” juga sangat bertolak belakang dengan cerita huru-hara, konflik, intrik politik, pelanggaran HAM, dan berbagai kisah yang jauh dari sifat romantis. Selain masalah judul, pada banyak tempat terdapat beberapa bagian tulisan yang mudah dikenali sebagai kutipan tapi sumbernya tidak dimuat secara eksplisit. Hal ini mengurangi kredibilitas ilmiah sebuah buku. Selain itu juga menyulitkan pembaca yang berkeinginan melacak sumber aslinya.
Kekurangan lain buku ini adalah banyaknya penggunaan ungkapan dan terminologi asing yang belum begitu akrab bagi pembaca umum ataupun sudah memiliki padanan yang sudah lazim dalam bahasa Indonesia. Ungkapan atau terminologi yang tergolong asing sebaiknya diiringi terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sedangkan yang sudah memiliki padanan yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia sebaiknya digunakan versi Indonesianya sehingga memudahkan pemahaman pembaca. Kualitas sebuah tulisan tidak ditentukan oleh seberapa banyak istilah asing yang digunakannya, melainkan seberapa banyak dan dalam pesan yang ingin disampaikannya dapat ditangkap oleh pembaca. Selain itu, menurut saya, acapkali penulis terlalu larut dalam emosi sehingga banyak pilihan kata yang memberi kesan berlebihan, mendramatisir keadaan, dan cenderung bombastis. Tata bahasa dalam penulisan buku ini juga masih perlu dibenahi. Hampir pada setiap halaman terdapat kesalahan tata kalimat, tanda baca, dan ejaan sehingga sangat merepotkan dan mengganggu konsentrasi orang yang membacanya. Kesalahan teknis editorial seperti ini dapat mengurangi mutu buku secara keseluruhan karena bisa saja menimbulkan asumsi kecerobohan dan dianggap prematur (kurang matang).
Dari segi desain dan kemasan, kualitas buku ini sudah lumayan baik. Pilihan warna dominan sampul (biru dan putih) sebenarnya sangat inspiratif dan menggugah optimisme. Namun demikian, kolaborasi beberapa potong gambar pada sampul muka justru tidak mendukung komposisi warna di atas. Illustrasi tersebut menurut saya tidak memberi motivasi pencerahan dan derap langkah ke depan mencapai kemajuan, melainkan justru simbolisme masa lalu yang penuh tragedi dan serba runyam. Di samping itu, ukuran huruf yang terlalu kecil berpotensi mengganggu kenyamanan pembaca karena membuat mata cepat lelah..
Bagi pembaca yang beranggapan bahwa tulisan penulis lokal tentang masyarakat dan daerahnya lebih objektif, murni, dan jujur, buku ini tentu sangat cocok dan sesuai selera Anda. Bagi masyarakat non-Aceh, buku ini pun sangat berguna dibaca sebagai penyeimbang dan penggugah empati jika selama ini informasi yang diperoleh tentang Aceh relatif berat sebelah dan bersifat mono perspektif. Selanjutnya, bagi masyarakat Aceh sendiri, meskipun buku ini berangkat dari kejadian-kejadian faktual dan isu-isu yang telah lewat masanya di mana sebagian pembaca mungkin sudah mengetahui atau bahkan mengalaminya, buku ini tidak lantas dianggap sebagai kaset lama yang dendangnya sudah usang dan membosankan. Selamat membaca!
Leave a Reply